Juni 09, 2008

Menutup Mata Hati

03 Agustus 2007

Dunia film Indonesia pernah punya seorang Inneke Koesherawaty yang berani berbusana minim dan beradegan seronok. Ketika si bintang 'panas' itu mulai mengenakan pakaian yang jauh lebih sopan dan memakai kerudung, banyak yang mencibir. Ada yang menudingnya tak laku lagi, ada pula yang menuduhnya munafik. Ketika Inneke mulai memilih-milih peran dan lebih sering tampil di acara keagamaan, banyak yang mempertanyakan; jangan-jangan, ia hanya cari selamat di tengah tekanan umat beragama yang kian fanatik dan brutal. Ketika Inneke menikah dengan seorang pengusaha kaya, tak sedikit yang mendengus; sekarang boleh begitu, tapi dulu dia siapa?

Dalam hati, aku bertanya-tanya. Mengapa kita, yang mengaku bertuhan dan selalu mengklaim memiliki surga ini, dalam banyak hal, seringkali bersikap sangat keji? Kita tak ubahnya seorang anak yang menjadi iri hati dan marah, saat ayahnya menyambut kepulangan si adik yang durhaka (lihat Lukas 15:11-32). Alih-alih bersukacita karena si adik kembali pulang ke rumah, kita bersungut-sungut seolah-olah tak pernah cukup mendapat kelimpahan kasih sayang sang ayah.

Yesus pun mengalami perlakuan tak adil yang sama. Injil hari ini mengisahkan penolakan dari masyarakat di tempat asal-Nya. Kata mereka, "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu? Bukankah Dia itu anak tukang kayu?" (lihat ayat 54-55). Karena ketidakpercayaan mereka, Yesus pun tidak banyak membuat mukjizat di tempat itu (lihat ayat 58).

Allah selalu menemukan cara untuk berkarya. Seringkali, Ia memilih orang-orang sederhana, bahkan juga mereka yang tersisihkan, untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Kita, yang cenderung terpukau pada hal-hal besar yang serba gemerlap, tak jarang menjadi kecewa. Kita jengkel karena Allah memilih orang-orang berdosa, orang-orang yang di mata kita 'tak layak', menjadi Sakramen bagi kita. Kita marah dan kecewa, karena kita seringkali merasa diri lebih pantas daripada orang lain.

Kita telah bersikap tak adil kepada Allah karena tak percaya pada penyelenggaraan Ilahi-Nya. Kita menolak mengakui bahwa Allah telah mengubah hidup orang lain. Mungkinkah ini sebetulnya cerminan kekecewaan kita, karena kita tak juga mampu membuat perubahan dalam hidup kita sendiri? Kita tak percaya hidup orang lain telah diubah karena kita pun belum berubah.

Kita telah bersikap tak adil kepada sesama, karena mereka menjadi korban dari kegelisahan, pergulatan diri dan kepahitan kita sendiri. Bukankah di balik sikap dan perkataan yang keji selalu tersembunyi hati yang pedih? Seseorang dengan hati yang penuh cinta tak akan pernah melakukannya; seluruh pandangannya hanya terarah kepada dunia dan perhatiannya hanya terletak pada kebahagaiaan sesamanya. Orang-orang itu barangkali sering dikecewakan, tapi mereka tak pernah jera karena memiliki semacam 'cinta yang keras kepala'.

Kita juga seringkali tak adil pada diri kita sendiri, karena dengan kekejian kita, kita justru menutup saluran rahmat Allah. Di Nazaret, Yesus tak melakukan banyak mukjizat karena orang-orang tak percaya. Bukankah kita juga menutup mata hati kita saat menolak orang-orang yang sesungguhnya dianugerahkan Tuhan untuk menjadi tanda kehadiran-Nya? Sama seperti orang-orang Nazaret tak mendapat mukjizat, kita pun tak mendapat berkat dan rahmat Allah karena kita sendiri yang menutup salurannya.

Seorang nabi dihormati di mana-mana selain di rumahnya sendiri. Tentang si ciptaan, mengapakah ia masih saja mengingkari Sang Penciptanya?

Tidak ada komentar: