
26 Juli 1996. Kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jln. Diponegoro, Jakarta, malam itu lengang. Beberapa orang hilir-mudik sedikit bergegas. Aku dan beberapa wartawan muda, duduk di koridor panjang, menanti seseorang. Ketika itulah, seorang yang bertubuh besar dan berkulit hitam duduk di sampingku. Kami pun mulai bercakap-cakap.
Ia adalah pendukung Megawati Soekarnoputri, berasal dari Papua. Mengingat kondisi politik saat itu, kuberanikan diri bertanya, “Mengapa Bapak begitu yakin pada Bu Mega?” Laki-laki itu, dengan mata berapi-api, menatapku tajam. “Saya yakin! Kalau nanti Bu Mega jadi presiden, keadilan akan ditegakkan di Papua!” Masih banyak yang ia katakan, sampai kawan-kawanku mengajakku pulang. Kujabat erat tangan bapak itu disertai ucapan, “Semoga sukses, Pak.” Aku berlari menyusul kawan-kawanku yang sudah menyeberang jalan. Entah mengapa, ada perasaan yang menggayut, menahan kami untuk tak segera pulang. Toh akhirnya, pkl. 11 malam, seorang kawan berkata, “Tak akan terjadi apa-apa malam ini. Kita sudah seharian cari berita. Lebih baik pulang dan beristirahat.”
27 Juli 1996. Pkl. 06.30, kepala reporter menelepon, menugasiku untuk segera meluncur ke Diponegoro. “Kantor itu diserang!” katanya singkat. Ketika sampai di sana, massa sudah berkumpul dan marah. Ada selembar kemeja berlumur darah dibentangkan. Kepalaku pening. Ke mana Bapak yang kuajak bicara semalam? Selamatkah ia? Hidup, atau mati? Aku beranjak ke RSCM, dan kerusuhan 27 Juli yang terkenal itu pun berlangsung di depan mataku. Tentara memukuli massa dengan membabi-buta. Gedung-gedung dihancurkan dan dibakar. Bus-bus di jalan juga dibakar. Di UGD, aku membantu mencatat nomor-nomor telepon yang dibisikkan korban selama mereka menjalani perawatan, lalu menghubungi keluarga mereka untuk mengabarkan yang terjadi.
Malam itu aku pulang, berjalan kaki, dengan gontai. Apakah Bapak dari Papua itu selamat? Apakah ia hidup? Apakah mati? Ia hanya menginginkan keadilan ditegakkan di bumi Papua. Keinginan yang sungguh baik itu, sepadankah dibayar dengan kematian? Kalaupun ia sungguh mati, sepadankah kematian itu dengan carut-marut dunia politik yang penuh kepentingan? Dengan para pejabat negara yang tak memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebab hanya mementingkan kesejahteraan diri sendiri & kelompoknya? Dengan anak-anak bangsa lainnya yang tak peduli pada penderitaan sesamanya?
Dunia ini melahirkan banyak pemimpi dan menyaksikan mereka mati. Sebagian besar mati tanpa sempat mewujudkan mimpinya. Aku bertanya-tanya: itukah arti bertahan sampai akhir, bahkan ketika napas penghabisan berembus, kita menyadari bahwa kita hanyalah bagian dari sebuah riwayat panjang yang belum akan diakhiri?
Ilalang akan selamanya tumbuh bersama gandum sampai tiba hari tuaian. Mungkin, segala sesuatu memang akan indah pada saatnya. Dalam masa penantian itu, ada begitu banyak hal menyakitkan yang harus dialami. Mengapa? Barangkali, dengan cara itulah harapan akan punya makna...
Doa:
Tuhan, izinkan aku memeluk-Mu lebih erat, lebih erat lagi...