Mei 10, 2012

Allah sebagai Identitas Diri


07 Juni 2011, Hari Biasa Pekan Paskah VII
Bacaan KS – Kisah Para Rasul 20:17-27
Injil – Yohanes 17:1-11a

Allah sebagai Identitas Diri 
Oma Yo sudah berusia 75 tahun saat itu. Sejak beberapa tahun sebelumnya, ingatannya berangsur memudar. Bahkan ketika Opa Yo terjatuh di kamar mandi dan meninggal karenanya, Oma Yo tidak sepenuhnya mengerti. Pada masa-masa sesudahnya, Oma Yo sering bertanya kepada orang-orang dekatnya, “Opa ada di mana?” Yang mendengar pertanyaan itu tentu merasa trenyuh, teringat betapa gesit Oma ketika masih berpraktik sebagai dokter, betapa besar cinta Oma kepada Opa dan betapa tulus perhatian Oma kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam usia yang semakin lanjut, Oma seringkali hanya duduk diam, melamun, atau mengajak berbicara tentang hal-hal yang tak jelas lagi konteks ruang atau waktunya.
Dari pengalaman hidup Oma Yo, kita menjadi maklum bahwa identitas adalah persoalan penting bagi manusia. Identitas menentukan cara kita memposisikan diri dan menanggapi situasi atau orang lain. Siapakah aku? Untuk apa aku ada? Apakah tujuan hidupku? Bagaimanakah aku menanggapi sesama & lingkunganku? Bagi Oma Yo, yang sudah lanjut usia dan pikun, pertanyaan-pertanyaan itu tak mudah untuk dijawab. Bagi sejumlah kaum muda, termasuk OMK, tampaknya pertanyaan-pertanyaan itu juga tak mudah untuk dijawab. Mengapa demikian? Pernahkah hal ini kita renungkan?
Melalui bacaan Kitab Suci hari ini, kita belajar dari Santo Paulus bahwa identitas seseorang bukan hanya sesuatu yang diberikan atau diperoleh begitu saja, melainkan juga dibentuk dan diteguhkan secara terus-menerus. Paulus yang tadinya adalah penghujat Tuhan, mengalami pertobatan hingga menjadi Rasul yang gigih mewartakan karya keselamatan Allah. Pertobatan Paulus adalah rekonsiliasi dengan Allah. Relasi dengan Allah menjadi begitu dekat sehingga Paulus bersedia mewartakan-Nya kendati disadari bahwa, “Penjara dan sengsara menunggu aku.”
Suatu kesadaran menjadi milik Allah, semacam kepercayaan dan kepasrahan terhadap-Nya, adalah sebuah identitas juga. Setiap hal terjadi karena suatu alasan, dan setiap orang dilahirkan untuk suatu tujuan, demikian perkataan seorang bijak. Alangkah gembiranya, jika alasan dan tujuan itu adalah Allah sendiri. Jika kita sampai pada titik kesadaran ini, akan mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, termasuk memberikan respon pada peristiwa hidup sehari-hari serta menanggapi orang-orang yang kita jumpai.*

Tidak ada komentar: