April 03, 2015

Cinta yang Membebaskan

Rasa takut bergayut di ruangan itu. Kesunyian memagut. Setelah hiruk-pikuk berakhir, jam-jam berlalu sebagai detik. Kegelisahan yang riuh, debar jantung yang gemuruh, tuntas berlalu dan seolah semua kini membeku. Pertanyaan demi pertanyaan selalu urung terlontar, karena terbentur keraguan sendiri: adakah jawaban?

Seorang perempuan yang berduka, hilang dalam nyeri. Ia menjauh berlari. Cinta yang mendekapnya erat selama ini mendesaknya untuk pergi. Ia tercabik-cabik. Dapatkah ia utuh kembali?

Ada satu tempat yang hendak ditujunya kini. Ia berharap dapat menjumpai kekasihnya lagi. Tapi kubur itu kosong. Perempuan itu terduduk dan menangis: apakah hidupku masih mempunyai arti?

"Maria!" Dari antara tangis, perempuan itu menoleh kepada suara yang memanggilnya. Air mata yang mengaliri pipinya laksana hangat gemeretak yang memecahkan lapisan dingin di hatinya. Perlahan, ia mulai mengerti.

Hidup ini seolah sebuah pertunjukan besar. Kita terlempar-lempar dari satu adegan ke adegan lainnya, dari peran satu ke peran lainnya. Tetapi cinta bukanlah sandiwara. Cinta yang utuh, menyeluruh, total, dan final... adalah cinta yang merangkai semua adegan dan peran, menjadikannya sekadar warna dan nuansa di dalam semesta.

Perempuan itu memandang kekasihnya. Air mata, dekap hangat dan kecupan tak lagi mempunyai makna. Ia merasa bebas dalam mencinta. Ia merasa telah melampaui segala dalam mengada. Ia menyadari, bahwa hidup yang sesungguhnya adalah hidup yang diserahkan, dan cinta yang sejati adalah cinta yang dikorbankan.

Perempuan itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, merasa sungguh-sungguh bahagia.*

Mei 10, 2012

Sulitnya Dicintai


Kamis, 10 Mei 2012 - Pekan Paskah V
Bacaan I – Kisah Para Rasul 15:7-21
Injil – Yohanes 15:9-11

Sulitnya Dicintai
Sehabis bersitegang dengan orang tua kita, biasanya seringkali muncul kalimat semacam, “Papa melarangmu pergi karena menyayangimu,” atau, “Mama melakukannya karena mengasihimu.” Bagi kita, perkataan itu barangkali tak mudah diterima begitu saja. Katanya menyayangi, tapi kok tak dibolehkan pergicamping dengan teman-teman? Katanya mengasihi, tapi kok memaksa kita supaya kuliah di kampus A, padahal kampus B lebih populer? Katanya sayang, tapi kok malah bikin jengkel dan bete? Nggak nyambung!
Kita mudah berbantahan dengan orang tua, barangkali karena kita mengenali kelemahan manusiawi mereka. Sayang sih sayang, tapi Papa dan Mama itu ketinggalan zaman, nggak trendy, kuper, jadul… Susahnya, seringkali kelemahan manusiawi itulah yang tampak oleh kita, bukannya rasa kasih dan sayang mereka yang besar kepada anak-anaknya. Kita pun mudah jengkel dan bete jika tak lagi mengerti rencana dan harapan mereka bagi hidup kita.
Bagaimana dengan Allah? Kasih Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang manusia, sebab Allah-lah yang menciptakan manusia. Yesus bahkan rela menginggalkan keallahan-Nya dengan menjadi manusia, dan wafat bagi kita. Apakah kita dapat merasakan kasih yang besar itu, sehingga sungguh mau hidup suci, jauh dari dosa? Apakah sulit bagi kita untuk merasa dicintai oleh Allah, sehingga mengabaikan pesan-pesan-Nya? Apakah kita sabar dan setia mengenali kehendak-Nya melalui doa, Kitab Suci, dan peristiwa hidup sehari-hari?

Kesejatian Relasi


09 Juni 2011, Hari Biasa Pekan VII Paskah
Bacaan KS – Kisah Para Rasul 22:30; 23:6-11
Injil – Yohanes 17:20-26

Kesejatian Relasi
Sebagai OMK, barangkali kita termasuk orang yang melakukan hal ini: menyimpan foto pacar, keluarga atau anjing kesayangan di dompet. Mungkin juga, kita memilih untuk menyimpan atau memakai berbagai pemberian yang berarti: boneka, kalung, gelang, surat-surat, kartu bahkan lukisan. Sebagian dari kita mungkin lebih nyaman melamun, mengenangkan, termasuk menyanyikan lagu-lagu yang sarat makna. Intinya, kita ingin dekat dengan seseorang melalui hal-hal atau benda-benda yang menjadi simbol bagi mereka.
Sebagai simbol, bermacam hal atau benda itu bukanlah relasi yang sesungguhnya. Dapatkah kita mencintai seseorang hanya dengan memandangi fotonya? Cukupkah komunikasi dengan seseorang terjalin dengan cara memeluk boneka pemberiannya, atau menyenandungkan lagu kesukaannya? Dapatkah kedekatan kita pada Allah terbangun dengan hanya mengenakan kalung salib-Nya?
Hari ini, melalui bacaan-bacaan Kitab Suci, kita belajar banyak dari Santo Paulus dan Yesus sendiri. Paulus, yang ditangkap karena mengimani Yesus, tak merasa gentar sehingga terus bersaksi tentang Dia. Paulus menjalin relasi yang begitu dekat dengan Yesus, dan sungguh mau menjadi bagian dari karya keselamatan-Nya. Sedangkan Yesus, Putera Allah yang sudi menjadi manusia, berusaha untuk terus menjalin relasi yang dekat dengan kita. Yesus hadir, menemani, menghibur, mengasihi kita. Yesus bahkan memohon ampun kepada Bapa bagi kita yang belum dapat memahami jalan keselamatan-Nya. Yesus juga berdoa, agar kita semua dapat menyatukan diri dengan kehendak dan rencana Allah yang indah. Sebagai puncak kesejatian relasi-Nya dengan Allah Bapa dan manusia, Yesus wafat di salib.
Bagaimanakah relasi kita dengan orang-orang yang kita jumpai? Seperti apakah relasi kita dengan Allah sendiri? Apakah relasi-relasi ini memberikan kegembiraan, menumbuhkan harapan, serta membuahkan keselamatan? Semoga kita semakin berani untuk mewujud nyata, tak berhenti pada simbol atau romantisme belaka.*

Jadilah Mereka Satu


08 Juni 2011, Hari Biasa Pekan VII Paskah
Bacaan KS – Kisah Para Rasul 20:28-38
Injil – Yohanes 17:11b-19

Jadilah Mereka Satu
Dalam sebuah pertemuan OMK, fasilitator meminta agar semua yang hadir membagi diri menjadi sejumlah kelompok. Tiap kelompok mendapat sebuah bejana kecil dari tanah liat dan cat warna-warni. Ketua kelompok diminta untuk memastikan, bahwa setiap anggota kelompok membubuhkan gambar di bejana itu sesuai dengan selera mereka masing-masing. Bejana berhias itu nantinya akan dipresentasikan.
Semua kelompok pun berlomba-lomba menjadikan bejananya paling indah. Ada yang berembuk dulu untuk membuat konsep, ada yang mulai dengan menemukan ciri khas masing-masing anggota kelompok. Kelompok lain ada juga yang langsung mulai saja mengambari bejananya, tak pusing dengan konsep. Setelah semua bejana usai dihias, presentasi tiap kelompok pun menjadi acara yang seru. Canda, tawa, aneka komentar meramaikan suasana.
Keceriaan itu mendadak sontak berubah ketika fasilitator kemudian meminta semua kelompok untuk memecahkan bejana masing-masing. Ekspresi terkejut, tak percaya bahkan ngeri, tampak di wajah-wajah peserta. Perlahan, satu demi satu bejana dipecahkan. Setelah beberapa saat dalam keheningan, fasilitator lantas meminta agar semua kelompok merekatkan kembali keping-keping bejana itu dengan lem. Ada seseorang yang menangis. Sejumlah lain terlihat dongkol. Sebagian tampak tak bersemangat. Suasana muram. Sekuat apapun lem, serapi apapun melekatkan keping-keping itu, bejana mereka tak lagi kelihatan sama indah seperti sebelumnya.
Aktivitas dengan bejana itu mengantar kita pada perenungan tentang konflik dan perpecahan. Kita mengawali relasi atau membentuk kelompok berlandaskan tujuan, sembari menghargai keunikan tiap pribadi serta semangat macam ‘nggak ada loe, nggak rame‘. Dalam perjalanan, konflik dapat terjadi dan bisa saja, setiap orang menjadi lupa pada tujuan, keunikan bahkan semangat awal mereka sendiri. Perpecahan pun tak terelakkan. Bahkan ketika yang pecah itu kembali disatukan, butuh waktu dan energi tersendiri agar relasi sungguh-sungguh dapat dipulihkan.
Sementara itu, ketika kita, OMK, bergelut dalam pertikaian dan ancaman perpecahan, Yesus tetap hadir dan berdoa bagi kita, “Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita.” Ingatan akan Yesus ini semoga dapat melampaui aneka kepentingan pribadi, menjadi pegangan dalam kerapuhan diri, dan menyadarkan kita untuk tetap rendah hati. Pertikaian hanyalah sekadar proses tumbuh-kembang bersama, dan sebagaimana dinyatakan oleh St. Edith Stein, “Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.”*

Allah sebagai Identitas Diri


07 Juni 2011, Hari Biasa Pekan Paskah VII
Bacaan KS – Kisah Para Rasul 20:17-27
Injil – Yohanes 17:1-11a

Allah sebagai Identitas Diri 
Oma Yo sudah berusia 75 tahun saat itu. Sejak beberapa tahun sebelumnya, ingatannya berangsur memudar. Bahkan ketika Opa Yo terjatuh di kamar mandi dan meninggal karenanya, Oma Yo tidak sepenuhnya mengerti. Pada masa-masa sesudahnya, Oma Yo sering bertanya kepada orang-orang dekatnya, “Opa ada di mana?” Yang mendengar pertanyaan itu tentu merasa trenyuh, teringat betapa gesit Oma ketika masih berpraktik sebagai dokter, betapa besar cinta Oma kepada Opa dan betapa tulus perhatian Oma kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam usia yang semakin lanjut, Oma seringkali hanya duduk diam, melamun, atau mengajak berbicara tentang hal-hal yang tak jelas lagi konteks ruang atau waktunya.
Dari pengalaman hidup Oma Yo, kita menjadi maklum bahwa identitas adalah persoalan penting bagi manusia. Identitas menentukan cara kita memposisikan diri dan menanggapi situasi atau orang lain. Siapakah aku? Untuk apa aku ada? Apakah tujuan hidupku? Bagaimanakah aku menanggapi sesama & lingkunganku? Bagi Oma Yo, yang sudah lanjut usia dan pikun, pertanyaan-pertanyaan itu tak mudah untuk dijawab. Bagi sejumlah kaum muda, termasuk OMK, tampaknya pertanyaan-pertanyaan itu juga tak mudah untuk dijawab. Mengapa demikian? Pernahkah hal ini kita renungkan?
Melalui bacaan Kitab Suci hari ini, kita belajar dari Santo Paulus bahwa identitas seseorang bukan hanya sesuatu yang diberikan atau diperoleh begitu saja, melainkan juga dibentuk dan diteguhkan secara terus-menerus. Paulus yang tadinya adalah penghujat Tuhan, mengalami pertobatan hingga menjadi Rasul yang gigih mewartakan karya keselamatan Allah. Pertobatan Paulus adalah rekonsiliasi dengan Allah. Relasi dengan Allah menjadi begitu dekat sehingga Paulus bersedia mewartakan-Nya kendati disadari bahwa, “Penjara dan sengsara menunggu aku.”
Suatu kesadaran menjadi milik Allah, semacam kepercayaan dan kepasrahan terhadap-Nya, adalah sebuah identitas juga. Setiap hal terjadi karena suatu alasan, dan setiap orang dilahirkan untuk suatu tujuan, demikian perkataan seorang bijak. Alangkah gembiranya, jika alasan dan tujuan itu adalah Allah sendiri. Jika kita sampai pada titik kesadaran ini, akan mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, termasuk memberikan respon pada peristiwa hidup sehari-hari serta menanggapi orang-orang yang kita jumpai.*

Allah Saja Cukup


06 Juni 2011, Hari Biasa Pekan VII Paskah
Bacaan KS – Kisah Para Rasul 19:1-8
Injil – Yohanes 16:29-33

Allah Saja Cukup
Pekan lalu, kita dikejutkan oleh berita tentang Xiao Zhen. Remaja 17 tahun asal China itu nekat menjual satu ginjalnya untuk membeli iPad2.  “Saya begitu menginginkan punya iPad2, tetapi tidak punya uang. Saya kemudian melihat iklan di internet, bahwa ada agen yang akan membayar 20.000 yuan (setara Rp26 juta, red.) untuk sebuah ginjal,” kata Zhen.
Kisah Zhen itu kita sandingkan dengan cerita tentang seekor katak. Katak itu hendak mendaki sebuah menara. Semua teman meneriakkan padanya bahwa hal itu tak mungkin terjadi. Katak yang diteriaki mulai memanjat menara. Semakin ke atas, semua katak pun semakin seru berteriak sinis. “Paling-paling sebentar lagi ia jatuh!” Katak yang diteriaki dan dicemooh itu terus menyusuri dinding menara hingga sampai di atas. Di tengah suara yang hiruk-pikuk mencemooh, dan tak ada satu pun katak lain yang mendukungnya, bagaimana ia dapat bertahan dalam tekadnya? Ternyata, katak itu tuli.
Sebagai OMK, barangkali kita lebih mirip Zhen ketimbang si katak. Kita tidak tuli. Kita mendengar zaman ini bergerak dan melaju, berikut semua tawaran dan godaan yang menyertainya. Bukan hal yang mudah untuk bertahan dan tak tergiur, tergoda untuk mendapatkan ini-itu melalui jalan yang keliru. Apalagi jika kebanyakan teman, atau siapapun orang yang ada di sekitar kita, juga mendukung kekeliruan itu.
Mentalitas instan, tidak mau repot, mendorong kita untuk megambil jalan pintas seperti menyontek dan menjadi plagiat. Keinginan untuk trendi dan populer menjadikan kita konsumtif. Butuh uang untuk membiayai gaya hidup mendorong kita untuk menghalalkan banyak cara, termasuk menjual ginjal seperti Zhen. Mengapa penilaian manusia begitu penting bagi kita? Apakah bernilai di hadapan manusia juga berarti bernilai di hadapan Allah?
Yesus menunjukkan kepada kita melalui hidup-Nya, bahwa Ia seringkali ditinggalkan sendirian.  Hal itu tak pernah menyurutkan tekadnya untuk membawa manusia kepada keselamatan. Yesus tak butuh popularitas, tak perlu trendi, tak galau jika tak beroleh dukungan. Allah saja cukup, demikian ditegaskan St. Teresa Avila. Percaya dan bersandar pada-Nya, mengikuti ajaran-Nya, setia menemukan kehendak-Nya dalam hidup, itulah yang harus kita lakukan. Allah saja cukup… tanpa Ipad2, bahkan tanpa perlu menjual ginjal segala.*

Merindukan Tanah Suci


05 Juni 2011, Hari Minggu Paskah VII
Hari Komunikasi Sedunia
Bacaan I – Kisah Para Rasul 1:12-14
Bacaan II – Surat Pertama Rasul Petrus 4:13-16
Injil – Yohanes 17:1-11a

Merindukan Tanah Suci
Bagi OMK, yang usianya merupakan saat-saat untuk membentuk nilai-nilai pribadi, menegaskan sikap hidup, serta memantapkan kepribadian, komunikasi seringkali tak mudah. Menyampaikan gagasan, termasuk juga ketidaksepakatan, dapat berujung konflik. Komunikasi adalah sebuah upaya untuk sampai pada a mutual understanding, pemahaman satu sama lain. Tak heran jika dalam upaya resolusi konflik, ketika semua pihak dapat mencapai a mutual understanding itu, ada yang menyebutnya sebagai ‘sampai ke tanah suci’.
Mengapa komunikasi seringkali tak mudah? Barangkali karena kemampuan untuk mengungkapkan diri perlu ditingkatkan, juga kemampuan untuk mendengar. Selain soal keterampilan, disposisi batin para komunikator pun perlu dibentuk; untuk tujuan apakah komunikasi itu? Berkomunikasi pun butuh kesabaran dan kesetiaan, agar pesan pada akhirnya dapat disampaikan.
Yesus adalah komunikator yang sejati. Ia mengkomunikasikan Allah kepada manusia. Dilakukannya berbagai cara: mengajar, menceritakan perumpamaan, membuat mukjizat, mengajarkan doa, berdialog, hingga wafat di kayu salib. Seluruh hidupnya adalah upaya komunikasi, upaya untuk mewartakan Allah kepada manusia. Ada yang mengerti, ada yang tidak. Bahkan kepada yang belum mengerti, Yesus mendoakan, “Bapa, ampunilah karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Sebagai OMK, sudahkah kita menjadi komunikator yang baik? Apa saja yang perlu kita tingkatkan? Apakah kita mau dan mampu mengantarkan orang pada a mutual understanding, ataukah kita justru sering mengeruhkan upaya-upaya komunikasi? Sebagai orang muda, yang beriman Katolik, sudahkah kita mengkomunikasikan Allah dalam keseluruhan hidup? Mari berguru kepada Yesus, sang komunikator sejati.*